Belajar Soal Cerita Matematika yang Digemari Siswa


Setiap anak suka cerita. Tetapi mengapa soal cerita menjadi soal yang paling tidak disukai anak-anak?
Komik, cerpen, novel sekarang menduduki posisi best seller dalam penjualan buku-buku di toko. Bahkan salah seorang teman saya yang bisnis penerbitan harus rela menggeser menerbitkan novel dari pada buku-buku yang berat.
Lalu, mengapa soal cerita matematika tidak menarik bagi siswa?
Kita perlu berbicara dengan bahasa para siswa. Bukankah para nabi diutus juga untuk berbicara dengan bahasa kaumnya?
Maksud bahasa siswa adalah bahasa yang dapat dipahami oleh siswa. Bahasa siswa ini tetap mematuhi aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hanya saja bahasa siswa bergerak dari bahasa yang sederhana menuju ke bahasa yang lebih kompleks.
Pengalaman Paman APIQ menunjukkan bahwa bahasa siswa menjadikan anak-anak suka soal cerita matematika. Banyak siswa-siswa APIQ yang ketagihan dengan soal cerita di APIQ.
Sedikit contoh dari Paman APIQ adalah penggunaan istilah selisih dan jumlah tidak sesederhana yang kita kira.
Contoh soal:
Al mempunyai 2 buku. Meti memiliki 3 buku. Berapa jumlah buku Al dan Meti?
Bagi siswa pemula, soal di atas tidak langsung mudah dimengerti. Apa maksud dari jumlah?
Bandingkan dengan bahasa yang berbeda.
Al mempunyai 2 buku. Meti memiliki 3 buku. Berapa jumlah buku Al ditambah buku Meti?
Nah, soal yang terakhir ini dapat langsung dipahami siswa. Bagi siswa yang sudah paham konsep penjumlahan (penambahan) dapat langsung mengerjakannya. Begitu siswa tersebut dapat mengerjakan soal cerita mereka menjadi ketagihan dan makin cinta dengan matematika.
Meski tampaknya sederhana, contoh di atas sangat berguna. Dan untuk berbicara dengan bahasa siswa bukanlah tugas yang ringan. Paman APIQ harus menyiapkan soal cerita sampai berbulan-bulan.
Berikut ini contoh pentingnya bahasa siswa yang dikirim oleh Mas Yudhi. Terima kasih kepada Mas Yudhi atas kiriman soalnya.
Salam,
Setuju pak, apalagi jika dibantu dengan pictorial. Pastinya anak-anak akan lebih mudah terbentuk mental imajinasinya.
Cuman, masalahnya. Masih banyak anak-anak kita yang belum terbiasa memiliki strategi pemecahan masalah yang kreatif. Jangankan kesana, untuk menyortir informasi penting dari soal cerita yang diberikan saja masih banyak yang kesulitan (terutama murid saya). Berbeda jika soal tersebut memang sudah disajikan dalam bentuk persamaan aljabar.
Sebagai contoh untuk soal diatas, murid-murid saya akan mentok dengan kosa kata “rata-rata” yang justru muncul di awal kalimat.
Kalaupun dibantu dengan kantong ajaib, 56 ribu tersebut miliki siapa?
Sama halnya jika pada soal perbandingan diketahui selisih misal : Uang Al sama dengan 2/3 uang Geo. Jika Uang Geo 5 ribu lebih banyak daripada uang Al, maka berapakah uang mereka masing-masing.
Mereka ternyata kesulitan dengan nilai uang 5 ribu tersebut adalah milik siapa